Wednesday, 27 June 2012

Selamat Jalan 'Wahyu Suganda'


Innalillahi wainnailaihiroji’un…
Sobat, tanggal  6 Mei 2012 kemarin, teman kita kelas IX.B sudah mendahului kita menghadap Allah SWT. Di usia yang begitu muda. Sayang sekali memang mengingat Wahyu adalah siswa yang pintar dan penurut. Namun, Allah ternyata menginginkannya lebih cepat. Kecelakaan tragis menimpanya di daerah Kretek Bantul Yogyakarta.
Wahyu… semoga  di sisi Allah engkau bahagia . 
Senyum yang mempesona, amal baik yang telah terjaga, insyaallah kan kami kenang selamanya!


PENSI 2012 (26 Mei 2012)

Penampilan Grup Paduan Suara MTsN Sumberagung

Penampilan Grup Paduan Suara MTsN Sumberagung

Foto Bareng Anak-anak Klub FATWA

Duet Fika Vs Bu Yulian lagu "Ayat-ayat cinta"

Dra. Heni Susilaningsih (Guru MTsN Bantul Kota)

Foto Bareng tim Serah Terima MTsN Sumberagung 
Tahun Pelajaran 2011/2012

Kholifatun Khoirunissa (Dirigen Grup Paduan Suara)
Foto Bareng Grup Paduan Suara
Grup Paduan Suara Bersama Pembimbing
Crew Teater FATWA
Aktris&Aktor Pementasan "Jangan Panggil Aku Surti"
Pembimbing Klub Teater dan Jurnalistik MTsN Sumberagung




Saturday, 12 May 2012

Naskah Pementasan Teater 2012

 JANGAN PANGGIL AKU SURTI



Karya:Yulian Istiqomah



Prolog: (dengan iringan music) oleh narator


Kala aku berkaca pada cermin hati, Kubiarkan anganku menukik ke dalam bayang diri, kubayangkan 'andai hari ini aku mati'. Tak dapat kupungkiri, keinginan duniawi kian mendominasi, frustasi makin mengerak dalam hati. Mengikis kadar iman yang terpatri. Ah, kini, terpampang sudah dalam cermin hati, Aku bukanlah yang dulu lagi.


(musik meninggi sejenak)


Para pemirsa… Klub “Teater FATWA” MTsN Sumberagung Jetis Bantul di bawah bimbingan Ibu Yulian Istiqomah dan Ibu Lutfiatul Khasanah, dan berserta segenap kru Poduksi, dengan BANGGA…. mempersembahkan sebuah drama yang berjudul “JANGAN PANGGIL AKU SURTI Karya Yulian Istiqomah, dengan Pemain : Yessy sebagai Surti, ..Fika. sebagai Emak , Fajar Sebagai Bapak, Anna Sebagai Ibu Kantin, Estri sebagai Guru, Alif Sebagai Amel, dan Hera Sebagai Via.


----------Selamat Menyaksikan!!............

SETTING: Di sebuah ruang keluarga.



ADEGAN I

Pada suatu pagi, Bapak dan Simbok bercakap-cakap.Bapak Tampak sedang membaca koran dan minum kopi.

MUSIK: REKAMAN IRINGAN LAGU PEDESAAN, UYON-UYON ATAU CAMPUR SARI.

1. Emak : Pakne! (MENYAPA PELAN)

2. Bapak : (DIAM DAN BERDEHEM, NYRUPUT KOPI)

3. Emak : Pak, Bagaimana anak kita Pak, Si Surti?

4. Bapak : Piye apanya? (MELIRIK SIMBOK SEBENTAR DAN KEMBALI MEMBACA KORAN)

5. Emak : Sepertinya Si Surti itu sudah berubah.

6. Bapak : Ya biar tho , Mak. Wajar. Sudah waktunya, dia kan bukan anak kecil lagi. (BACA KORAN)

7. Emak : Oalah, Apa Sampeyan tidak memperhatikan perubahan anehnya si Surti itu tho? (AGAK KERAS)

8. Bapak : Perubahan yang bagaimana? (MELIHAT EMAK)

9. Emak : Masyaallah, paringana sabar. Saya pusing memikirkan masa depan anak kita. Sampeyan malah santai-santai begitu tiap kali diajak rembugan. Anak kita, Si surti itu, sudah geblinger Pakne. Padahal dulu dia itu anak sing nyenengake. Sekolahe pinter, ngajine yo rajin, nganti dialem-alem karo mbah kyai Jupri.

10. Bapak : Sik...sik... geblinger sing kepiye tho, Mak?

11. Emak : Pak, kalau tak perhatikan, si Surti itu beli barang sing aneh-aneh. Kalung, gelang, karo barang do teng klenik sing ra wangun dinggo, kayak artis-artis sing neng tv-tv kae lho. Bukan itu saja, tingkahnya juga makin ndak karuan! Tidak mau ngerti kondisi orang tua!

12. Bapak : Walah, tak pikir opo. Kalau hanya seperti itu ya wajar tho, Mak. Rasah dipikir. Jare cah ABG, kui jenenge GAUL.”

(EMAK MRENGUT, DARI ARAH DALAM MUNCUL SI SURTI DENGAN DANDANAN GAUL BAJU SEKOLAHNYA)



13. Surti : Mak, Pak. minta uang! (DENGAN GAYA TIDAK SANTUN MENYODORKAN TANGANNYA)

14. Emak : Wis, sekarang Sampeyan lihat sendiri kan geblingernya tingkah anak kita ini? (BERDIRI)

15. Bapak : Sabar tho, Mak. (MENGAMATI SURTI YANG BERSEDEKAP ANGKUH) Kamu sudah sarapan belum Nduk?

16. Surti : Ah, bosan, Pak. Tempe lagi tempe lagi!... bisa kurus kering badanku ini.

17. Bapak : (MENGGELENGKAN KEPALA) Ya sudah, ini uangnya! (MEMBERIKAN UANG 10rb)

18. Surti : (MEREBUT UANG DARI TANGAN BAPAK) Hah...? Sepuluh ribu? Mana cukup buat makan enak di restoran sama teman-temanku, Pak?! (MARAH) Aku minta 100 Ribu!!

19. Emak : Oalah Ngger.... Kokyo kurang ajar timen tekonmu... Mbok yo ngaca tho Nduk... Kita itu hanya orang miskin. Rasah berlagak sugih. Opo anane! Istighfar, Nduk. Jangan sampai Allah murka dan menimpakan balasanNYA padamu. Seharusnya kita ini harus banyak bersyukur masih bisa makan, masih bisa ........

20. Surti : Halah!... Syukur-syukur! Aku capek hidup miskin, Mak! (MARAH )

21. Bapak : (MEMBENTAK) Surti!!....

22. Surti : Aaah, Surti! Surti!... (MARAH) Jangan panggil aku Surti! Aku bosan jadi Surti!! Surti yang dulu sudah mati!! (MENINGGALKAN PANGGUNG)

23. Emak : (SEDIH) Astaghfirullahal’adzim.... Duh Gusti.... Ujian apalagi ini.... Emak kok serasa sudah kehilangan surti yang dulu, Pak. Bapak lihat sendiri kan? Ia bukan seperti Surti kita...

24. Bapak : Sabar, Mak. Kita doakan saja, semoga Allah memberinya petunjuk dan menjauhkannya dari hal yang menyesatkan. Sudah, Bapak pergi dulu, mau ngluku sawahnya mbah kaji Jupri. Mungkin sampai malam. (MENINGGALKAN PANGGUNG)

25. Emak : (MEMBERESI GELAS DAN KORAN, LANTAS MASUK KE RUANG DALAM, SISI PANGGUNG DALAM)

FADE OUT


ADEGAN II

Sore harinya, Emak terlihat sedang membersihkan ruang keluarga dengan kemoceng, sambil sesekali melihat ke arah luar panggung, menanti Surti pulang. Terdengar suara music kejawen, lalu disusul dengan kumandang andzan Isya’.

26. Emak : (MEMBERSIHKAN MEJA, MELIRIK KE LUAR) Masyaallah, sudah Isya’ begini kok Surti belum pulang juga. Gek kamu itu kemana tho, Nduk....

27. Ibu Kantin : Assalamu’alaikum... (BERHENTI DI PINGGIR PANGGUNG)

28. Emak : (MEMPERHATIKAN TAMU YANG TAK DIKENALNYA) Wa’alaikumsalam... mari masuk, Bu.

29. Ibu Kantin : (TERSENYUM, LALU DENGAN RAGU BERJALAN MASUK SAMBIL MENGAMATI SEKELILING PANGGUNG) Maaf, Bu... apa benar ini rumahnya Neng Rosa? Duh, saya kok jadi ragu.

30. Emak : (BINGUNG, DAN TERSENYUM) Waduh, di dalam rumah ini tidak ada yang bernama Rosa, Bu. Jadi mungkin ibu memang keliru.

31. Ibu Kantin : (MENGGELENG DAN MENGULURKAN SEBUAH FOTO) Ah, tetapi orang-orang itu tadi menunjukkan rumah ini ketika saya menunjukkan foto ini, Bu. Apa ini anak ibu?

32. Emak : (TERKEJUT MENGAMATI FOTO SURTI) Hah, Surti? Ini... ah, ini memang anak saya, Bu. Tapi namanya Surti bukan Rosa.

33. Ibu Kantin : Saya juga bingung mengapa namanya jadi Surti, ia selalu bilang pada saya namanya Rosa. Berarti saya tidak salah alamat. Begini Bu, jujur kedatangan saya kemari mau menagih hutang anak ibu di kantin saya.

34. Emak : (KAGET) Hutang? Anak saya punya hutang?

35. Ibu Kantin : Ya, Bu, 200 rb!

36. Emak : Dua ratus ribu? Apa ..... tidak salah Bu?

37. Ibu Kantin : Anak ibu ini sering metraktir teman-temannya di warung saya. Tapi ya itu, ngutang. Ia bilang tidak bawa uang cash, tapi bawanya ATM dan Cek. Saya percaya saja, lha tampang dan penampilannya saja seperti orang berduit. Wah... saya juga tidak mengira kalau ternyata.... (MEMPERHATIKAN SEKELILING) ia hanya anak orang miskin.

38. Emak : Oalah Surti! Anake wong kere we kok yo ndadak berlagak Sugih tho Nduk.... Pakai nama Rosa segala. Mbokyo sak madya saja tho, Nduk...... (SEDIH)

39. Bapak : (MASUK PANGGUNG DAN MELETAKKAN CAPINGNYA) Ada apa tho , Mak. Kok le nggrentes?

40. Emak : Oalah Pakne, anakmu, Surti. punya hutang sama ibu ini 200rb. Gek kita ini mau bayar pake apa? Wong untuk makan saja kita susah.

41. Bapak : (MENGELUARKAN UANG 200rb DARI KANTONGNYA) Alhamdulillah, Makne. Tadi dapat rejeki dari mbah kaji Jupri 200rb. Ini Bu, maafkan tingkah anak saya ya..

42. Ibu Kantin : (TERSENYUM) Terima kasih ya, Pak. Uang ini untuk kulakan besok pagi, agar bisa jualan lagi. Kalau begitu, sudah sah. Saya permisi. Asalamu’alaikum. (KELUAR PANGGUNG)

43. Bapak : (MENGULURKAN UANG 10 Rb PADA EMAK) wa’alaikumsalam........ Ini, Mak. Tinggal ini uang Bapak. Semoga cukup untuk makan besok pagi. Mana Surti?

44. Emak : Belum pulang je, Pakne. Mbok ya sampeyan cari sana tho Pak.

45. Bapak : Biarlah Mak. Nanti juga pulang sendiri. Asal pintu tidak usah dikunci. Bapak capek, mau sholat, lalu istirahat dulu. Ayo, masuk, Mak. Pijitin bapak saja. (MEREKA BERDUA LANTAS MASUK KE SISI PANGGUNG DALAM)

FADE OUT

ADEGAN III

Pagi harinya, terdengar kicauan burung bersahutan dan langgam jawa... Bapak muncul ke panggung, Membawa sebuah radio kecil, meletakkan di meja lantas mengutak-utiknya. Di panggung diperdengarkan suara rekaman penggalan berita

Isi berita (direkam): Para pendengar setia RRI yang berbahagia, info Jogja kembali kami sampaikan ke ruang dengar anda. Aksi anarkhis demo mahasiswa yang menuntut penurunan harga BBM kembali mewarnai negeri ini. Pagi ini, sejumlah mahasiswa dari salah satu universitas di Jogjakarta berunjukrasa di depan kantor DPRD kota Yogyakarta. Para oknum menemukan bahwa aksi unjuk rasa ini juga ditumpangi oleh para provokator yang berani membayar masa untuk ikut berunjukrasa. Para pengunjukrasa akhirnya berhasil merusak pagar dan memecahkan beberapa kaca jendela. Keadaan semakin ricuh ketika aparat mulai memberikan tembakan peringatan. Tindak anarkhis ini menyebabkan satu korban tewas dengan sangat mengenaskan......

(SEBELUM BERITA SELESAI, BAPAK SUDAH MEMATIKAN RADIO DENGAN MARAH)

46. Bapak : (MARAH) Katanya kaum intelektual, kok tingkahnya seperti berandalan! Tidak berpendidikan! Mau dibawa kemana nasib bangsa ini?

47. Emak : (BERTERIAK, MEMANGGIL DARI DALAM ) Pak! Pakne!

48. Bapak : Ada apa tho? Mreneo!

49. Emak : (TERGOPOH-GOPOH KELUAR MEMBAWA SELEMBAR KERTAS) Ini... ini bacalah, Pakne! Surti pergi! Oalah, Pak... gek kepiye iki?

50. Bapak : piya-piye.... Sik tho ini surat dari surti? (MELIHAT KE EMAK, EMAK MENGANGGUK) Berarti tadi malam anak itu pulang. (BERDIRI DAN MULAI MEMBACA)



Rekaman surat: Bapak... Emak... malu aku jadi anakmu. Tlah kerentangkan kedua telapak tanganku, tetapi tak cukup untuk sembunyikan rasa maluku. Tiga belas tahun aku menjadi anakmu, namun tak pernah kuluangkan waktuku untuk menyayangimu, meski tak pernah sedetikpun kau lupa mendoakanku. Tak pernah kubuat kau bangga dengan prestasiku, akhlak dan tingkah lakuku. Sungguh tak pantas aku menjadi anak emasmu. Mak... beri aku waktu, agar aku dapat kembali membuatmu haru karena bangga padaku. Bapak... Emak.. aku pergi. Aku akan mencari uang sendiri, bagaimana pun caranya, untuk membayar hutang-hutangku. Aku tak ingin membebani kalian lagi. Maafkan aku. Anakmu, Surti.



51. Bapak : (TERDIAM DI KURSI) Gek pergi kemana anak itu? Kali ini bapak kok khawatir, Mak.

52. Emak : coba tak datang ke saudara-saudara, Pak. Mudah-mudahan surti ke sana. (BERDIRI DAN HAMPIR KELUAR, NAMUN DARI ARAH LUAR PANGGUNG MUNCUL GURU DAN AMEL)

53. Guru dan Amel :Assalamu’alaikum...

54. Bapak dan Emak : Wa’alaikumsalam....

55. Guru : Bu, benar ini rumahnya Surti? Saya gurunya dan ini Amel, teman dekat Surti.

56. Emak : Iya, benar. Ada apa ya Bu?

57. Guru : Tadi Amel melaporkan bahwa Surti kabur. Ia tidak akan datang ke sekolah lagi. Makanya kedatangan kami kemari, berharap bertemu Surti, Bu. Salah satu teman dekat Surti saat ini juga sedang menelusuri keberadaan Surti di tempat-tempat nongkrong Surti, Bu.

58. Amel : Tadi pagi sekali waktu Surti mampir ke rumah saya, ia hanya terlihat kalut, minta maaf, lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan surat ijin untuk sekolah dalam waktu yang tak terbatas.

59. Guru : Benar Bu, yang saya khawatirkan Surti itu kan sudah kelas tiga, sebentar lagi sudah akan mulai berbagai macam tryout. Kalau ini dibiarkan, saya takut Surti tidak lulus UN, Bu.

60. Emak : (MELIHAT KE BAPAK YANG SEDARI TADI HANYA TERDIAM) Duh Gusti, bagaimana ini, Pak?

61. Bapak : Apa di sekolah Surti punya banyak hutang, Nak Amel? Coba bacalah suratnya ini! (MEMBERIKAN SURAT AMEL YANG LANTAS DIBACA GURU)



62. Amel : Iya,Pak. Bahkan saya sering tidak habis pikir, surti yang sekarang itu kok bisa jauh berbeda dengan surti yang dulu. Yang saya dengar, Surti punya semacam cs di luar sekolah Pak. Dan mereka jauh lebih tua dari Surti. Nah, Surti sering nongkrong bersama mereka. Ia tidak mau lagi mendengar saran saya dan Via. padahal dulu kami begitu dekat.

63. Guru : Saya kok khawatir ya Pak. Di luar sana situasi sedang tidak bersahabat. Tapi semoga Surti terhindar dari marabahaya.

(HENING.... MUSIC MENINGGI TEGANG......TIBA-TIBA DATANG VIA MEMBAWA SEBUAH JAKET DAN TAS MILIK SURTI)

64. Via : Bu Guru, saya hanya berhasil menemukan jaket dan tas milik Surti di kafe depan kantor DPRD. Tapi saya tidak tahu Surti dimana. Kata pemilik kafe, mungkin tas dan jaket ini tertinggal saat situasi ricuh sekali, sepertinya baru saja ada demo. Bahkan kata orang-orang di sekitar sana, ada satu mahasiswi yang tewas mengenaskan menjadi sasaran tembakan warga yang kebetulan membawa pistol. Tetapi pemicu kericuhannya sudah ditangkap dan dipenjara, beberapa di antaranya justru perempuan.

65. Guru : Via, kamu tahu siapa nama korban yang tewas itu?

66. Via : Sudah dibawa ke rumah sakit Sarjito, Bu. Emh...sebentar, tadi dengar-dengar kalau tidak salah namanya ro...sa, Ya! Benar, namanya ROSA!

67. Emak : Masyaallah.... ROSA?! (KAGET, TERDUDUK LEMAS DI KURSI, PUCAT)

68. Bapak : Ada apa, Mak? Korban itu Rosa, bukan Surti. (TEGAS BAPAK)

69. Emak : (MALAH BERTERIAK) Duh...Gusti.... Surti!!..... (TERSEDU)

70. Bapak : Istiqhfar Mak! Semoga anak kita selamat.

71. Emak : (MENANGIS) Anak kita sudah mati,Pak...... Rosa itu nama samarannya Surti!!...

Surti sudah MATI!

72. Guru : Se... sebaiknya... kita cek dulu, Bu (BINGUNG)

73. Amel : Tapi Rosa itu memang nama samarannya Surti, Bu. Mendengar cerita Via, saya yakin korban tewas itu memang Surti dan Surti terlibat demo mungkin karena dibayar.

74. Bapak dan Guru : Innalillahiwainnailaihi rojiun..

75. Emak : S-U-R-T-I .....!!!!....... (PINGSAN DAN LANGSUNG DIPEGANGI OLEH GURU DAN AMEL)



MUSIK: Meninggi... Menyayat... dan slow....

NARATOR:


Sungguh, Allah itu Maha Segalanya. Allahlah Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur segala hal yang terjadi di dunia. Bersyukurlah kita akan segala nikmatNYA dan hanya kepadaNYAlah kita berlindung dari segala marabahaya. Sebagaimana yang terkandung dalam surat Ali ‘Imran ayat 145 yang artinya:


“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan baranga siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan pula kepadanya pahala akhirat itu, dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”






(Musik meninggi)


DEMIKIANLAH pemirsa, telah kita saksikan bersama persembahan drama yang berjudul “JANGAN PANGGIL AKU SURTI” karya : Ibu Yulian Istiqomah. Kami segenap kru yang terlibat mengucapkan terimakasih dan SAMPAI JUMPA!!

(The-End)

Monday, 23 April 2012

Pembacaan Puisi Bu Yulian Saat Diklat


Yang dibaca oleh Bu Yuian ini adalah puisi karangan beliau sendiri lho. Menurut pengakuan beliau, saat itu beliau sedang mengkuti diklat Pembelajaran Puisi untuk MGMP Bahasa Indonesia Se- Bantul  yang diselenggarakan di SMP N 1 Sewon. Nah... saat itu, beberapa guru dari SMP negeri sudah maju membaca puisi karya Chairil Anwar. Tetapi yang dari MTs kok belum ada yang tampil? beliau pun memberanikan diri tampil dan meminta ijin narasumber agar puisi karangan beliau sendirilah yang dibaca. dari hampir 100 puisi yang beliau buat, beliau memilih puisi yang berjudul "Tidakkah kita wajib bersyukur". Yuk Kita lihat seperti apa pembacaannya!!

Tuesday, 3 April 2012

foto kaos klub teater fatwa terbaru (2012)







Ayo bagi para siswa yang ingin ikut pesen kaos, silahkan segera daftar dan membayar ke bu Lutfi...
panjang Rp. 50.000,-
Pendek Rp. 45.000,-

Sunday, 25 March 2012

"Si Atang dan Gunung Ajaib" (Peringkat 8 Nasional LMCR Diknas 2011)

SI ATANG DAN GUNUNG AJAIB

Karya: Zuhrotus Syarifah (Siswa Kelas IX.A MTsN Sumberagung)

“Kenapa aku harus terlahir dengan kelebihan seperti ini?” Atang merengut memandang sekumpulan bebek-bebek di sawah yang asyik membicarakannya. Sejak kecil Atang sadar bahwa ia memiliki kelebihan. Ia bisa mendengar dan mengerti bahasa makhluk lain selain manusia. Bahkan ia bisa mendengar apa yang mereka pikirkan meski tidak mengucapkannya. Tak banyak orang menyadari kelebihannya itu. Ia sendiri memang tak pernah menyampaikannya pada orang lain. Ia membiarkan segala macam julukan orang berlalu begitu saja. Dari anggapan ia seperti orang gila, kawanan hantu, sampai manusia ajaib pun tak digubrisnya.

“Hei, kau sudah makan belum? Ayo makan bersama kami.” Seketika Atang menoleh ke arah bebek-bebek itu. Mulutnya merengut. Memangnya ia hewan apa, jelek-jelek begini ia manusia tulen, pikirnya.

“Hei, kalau merengut tambah jelek lho. Sudah jelek malah makin jelek. Ha...ha...ha...” Bebek-bebek itu manjadi semakin riang bergunjing, menertawakannya.

“Ah.... sudah. Diam! Berisik!” Atang marah. Bebek-bebek itu terdiam, tak ada yang bersuara, tapi masih saja Atang mendengar pikiran dari salah satu bebek itu. “Alah...begitu saja marah.”

Tak tahan, Atang bangkit lalu berjalan ke arah gunung. Ia berhenti di tempat di mana ia bisa duduk sambil memandang lepas ke arah gunung itu. Gunung itu begitu tinggi menjulang, kokoh, berkuasa, dan tak kurang suatu apa pun. Gunung memiliki segalanya, aura, panorama, makhluk-makhluk yang mencintainya, dan juga kekayaan yang melimpah ruah. Sementara ia, anak yang miskin, kurus, dekil, dan hampir dibuat gila oleh kelebihan yang dimilikinya.

Atang mendasah lelah. Sebenarnya ini anugerah, tapi ia bingung dan merasa menjadi orang aneh yang berbeda dengan anak lainnya. Atang berpikir keras, ia selalu ingin bisa membantu memajukan desanya. Para penduduk di desanya sangat miskin dan tertinggal. Sebenarnya mereka layak mendapatkan penghidupan yang setara dengan masyarakat lainnya. Tapi entah mengapa desanya selalu saja luput dari perhatian para orang dermawan itu. Atang tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang anak dengan kelebihan aneh. Atang jadi membenci dirinya sendiri jika mengingat hal itu.

Ggrrrr....” terdengar suara gemuruh hampir serupa geraman. Atang kembali merengut mendengar suara aneh itu. Kali ini apa lagi, pikirnya. Mungkin di sekitarnya kini ada kerbau, babi, atau harimau yang mengerang.

“Kau seorang anak yang berhati mulia dan jujur, Atang. Tapi kau bodoh!” Kata suara itu lagi.

Apa? Bodoh? Atang tersinggung lalu berbalik. Suara hewan macam apa itu dan dimana hewan itu berada? Tak ada hewan apa pun di sekelilingnya. Atang heran dan bertanya-tanya. Mungkinkah pohon besar di sebelahnya itu?

“Jika kau pintar. Tentu kau juga tidak akan bicara sembunyi-sembunyi seperti itu. Siapa kau?” Bentak Atang marah. Akhir-akhir ini ia memang terlalu emosional.

“Aku bukan pengecut dan dari tadi aku sudah tepat berada di depanmu.”

Suara itu besar, keras, dan berkuasa. Suara apakah gerangan? Atang mengamati atas, bawah, dan jauh ke depan, tapi tak menemukan hewan apa pun di depannya. Burung-burung di pohon itu tak mungkin punya suara yang sebesar itu.

“Aku menyerah. Sekarang katakan siapa kau?” Ucap Atang dengan gaya pasrah dan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

“Aku adalah gunung yang dari tadi kau pelototi.”

Atang tersenyum, oh gunung, pikirnya. Hah, gunung? Atang terlonjak kaget. Ia melongo menatap gunung yang menjulang dan bisa berbicara itu dan menggeleng-geleng tak percaya.

“Ya, ini aku. Gunung!”

Gunung ajaib, simpul Atang. Wah, ia tidak tahu kalau gunung juga bisa bicara dan turut menjadi salah satu hal ajaib dalam hidupnya. Atau mungkin Atang saja yang sudah berubah menjadi siluman sehingga juga bisa mendengar suara gunung? Atau lebih tepatnya, itu suara siluman di dalam gunung itu? Siluman yang amat besar dan mengerikan tentunya hingga bisa mengeluarkan suara seperti itu.

“Hiiiyy....!” Atang ketakutan, ia meloncat turun dari duduknya dan siap berlari pulang.

“Dasar goblok! Pikiranmu keblabasan. Tentu saja tidak ada siluman. Ini asli suaraku!” Bentak marah gunung itu.

Antang terdiam, langkahnya terhenti. Ya, tentu saja, di jaman semodern ini mana ada siluman. Ia memandang tak percaya pada gunung itu lagi.

“Tak ada siluman? Asli?” Ulang Atang.

“Ah, sekarang kau malah terdengar seperti burung beo, Atang. Dengarkan, aku bisa menolongmu dan masyarakat di sekitarmu.” Ujar gunung itu.

“Menolong kami?” Atang memandang lekat-lekat gunung itu. “Benarkah?” lanjutnya. Atang sejenak berpikir, lantas terlihat bingung. “Bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?” Tanyanya kemudian.

“Tugasmu hanya berusaha menyakinkan warga agar selalu mencintai lingkungan dan giat bekerja menggarap sawah dan kebun mereka. Mereka bisa menjadi kaya berkat kebun dan sawahnya. Mereka bisa menjualnya ke kota. Tanahku akan menjadi sangat subur hingga tanaman apa pun dapat tumbuh dengan cepat. Selama ini mereka terlalu malas. Jika lingkungan terjaga, maka panorama desa kalian akan semakin indah. Pasti banyak orang yang tertarik datang ke sini untuk menikmatinya. Tapi kau harus menjaga agar para pendatang itu tidak merusak alam kalian. Bagaimana?” Atang serius mendengarkan setiap perkataan gunung itu. Setelah mengerti ia pun tersenyum puas.

“Astaga, kenapa tidak terpikirkan olehku? Aku akan berusaha keras. Sangat keras. Desa ini akan menjadi desa penghasil pangan yang tak tertandirngi.” Atang segera berlari ingin segera memberitahu warga. Namun ia berhenti dan berbalik melempar senyum cemerlang ke arah gunung itu.

“Terima kasih, Gunung Ajaib. Aku bahagia bisa berbicara denganmu. Aku akan kembali.” Atang terus berlari melewati bebek-bebek itu lagi.

“Wah, teman-teman. Inilah Si Atang calon pahlawan kita. Ia bersama Gunung Ajaib itu akan membuat kita kaya raya.” Ucap bebek itu.

Atang berhenti, lalu berbalik melotot heran ke segerombolan bebek itu. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Kabar burung.” Jawabnya. Atang memandang curiga.

“Baiklah, Burung Pipit itu yang memberitahuku. Kami mendukungmu, Atang.” Lanjut bebek itu. Atang tersenyum senang.

“Benarkah? Baiklah. Aku harap kalian mau mengabarkan ini pada hewan-hewan lainnya.” Atang berlari pulang dengan gembira.

Pagi-pagi sekali Atang sudah terbangun. Atang mendengar suara hewan-hewan peliharaan warga yang sudah berteriak-teriak membangunkan tuannya. Atang tersenyum, bebek-bebek itu ternyata bergerak lebih cepat dari yang dibanyangkannya. Atang pun segera bersiap untuk memberitahu warga. Tapi, Atang bingung. Bagaimana caranya Atang akan memberitahukan mereka tentang hal ini? Atang tak perduli pada resiko yang bakal dia terima. Ia hanya akan berusaha sebaik mungkin. Dan memberitahu mereka dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya.

Pagi itu, Atang pun mulai menemui penduduk yang tinggal di sebelah rumahnya. Ia menjelaskan panjang lebar tentang gunung, lingkungan, dan hasil sawah maupun kebun yang bakal membuat mereka kaya.

“Percayalah, Pak. Gunung itu pasti akan menjadi subur!” ucap Atang menutup pembicaraan mereka. Pak tua itu hanya tersenyum prihatin pada Atang sambil menepuk-nepuk bahunya. Atang bingung.

“Aneh sekali reaksi pak tua itu. Kenapa dia malah mengasihaniku? Ah....sudahlah. Pasti ada penduduk di desanya yang mau mencoba sarannya. Atang bertekad bulat akan terus mencoba. Setiap pagi, ia mulai mendisiplinkan diri. Bangun sepagi mungkin dan mendatangi rumah-rumah penduduk lagi. Tanpa putus asa ia terus menyampaikan hal yang sama dengan yang disampaikan pada pak tua itu. Tapi kembali tak seorang pun yang percaya padanya. Padahal, ia sudah menjelaskan dengan sejujur-jujurnya tentang peristiwa-peristiwa yang ia alami. Terutama tentang gunung itu. Atang heran. Apa yang salah? Mengapa mereka bereaksi sama seperti itu?

Atang masih terus berjalan. Ia mendatangi tumah terakhir di desa itu. Dalam hati Atang sungguh berharap wanita tua itu akan percaya dengan kata-kata. Namun, Atang bahkan hampir menangis ketika mendengar komentar orang itu.

“Nak, pergilah ke kota, lalu carilah dokter yang dapat menolongmu. Kau ini agak berbeda dengan anak-anak lain. Kau sering bicara sendiri dan membicarakan hal-hal aneh yang tidak kami mengerti. Kami turut prihatin, Atang.” Ucap nenek itu

“Percayalah padaku, Nek. Aku tidak berbohong. Kita semua bisa menjadi kaya kalau kita mau. Gunung ajaib itu akan menolong kita. Menyuburkan tanah, mempercepat tumbuhnya tanaman, dan banyak hal lainya. Sungguh, aku tidak bohong, Nek. Aku sudah berbicara sendiri dengan gunung itu.” Atang putus asa.

Wanita tua itu hanya menggeleng seidih, “Nak, kau memang perlu dokter atau dukun. Aku bisa membantumu mencari dukun....” Atang menggeleng keras.

“Aku tak perlu bantuan siapa pun, Nek. Justru aku hanya mencoba membantu kalian bangkit dari kemiskinan.” Setelah mengucapkannya, ia pergi ke gunung itu.

Kembali ia memanjat pohon kesayangannya, dan merenungi segala upayanya yang tanpa hasil itu.

“Sabar, Atang. Suatu saat nanti kamu pasti berhasil. Tetap semangat dan berusaha ya!” ucap bebek itu lagi. Antang tersenyum, mengangguk. Ya paling tidak, para hewan di desanya menyambut gembira upaya Atang dan Gunung Ajaib itu.

Atang kembali berjalan. Ingin rasanya ia berteriak marah pada orang-orang itu, tapi ia tak bisa. Atang duduk terpaku menatap gunung ajaib itu. Ia terus berpikir bagaimana caranya meyakinkan warga desanya. Ia sudah mencoba menjelaskan sejujurnya dan sekuat tenaga, tapi tampaknya semua orang justru malah menganggapnya gila dan memerlukan dokter jiwa. Atang tersenyum pahit. Ya, tentu saja mereka tidak akan percaya kalau ia bisa berbicara dengan binatang atau makhluk lainnya.

“Hehehe.... Bodoh benar aku.” Atang tertawa. “Mereka tentu justru malah menganggapku gila jika melihatku serius berbicara dengan hewan-hewan itu.” Lalu apa yang harus ia lakukan? Atang bingung. Ia mengacak-acak sebal rambutnya.

“Gunung Ajaib, aku gagal menjalankan tugasku. Aku sudah berusaha. Tapi mereka tidak percaya kata-kataku. Apa yang harus aku lakukan?” Teriaknya.

“Kamu tidak gagal, Atang. Paling tidak mereka telah berpikir sekarang. Masih ada cara lain, tapi apa kamu sanggup? Ini berat.” Jawab Gunung itu.

Atang langsung bersemangat, matanya berbinar-binar penuh harap ketika menatap ke gunung itu. “Apa pun itu. Aku siap. Aku akan berusaha keras untuk menyakinkan mereka. Aku ingin desaku ini menjadi desa yang banyak dikagumi orang. Aku.... apa yang harus aku lakukan, Gunung Ajaib?”

“Yang harus kamu lakukan adalah memberi contoh pada mereka, Atang. Biarkan mereka melihat dengan mata mereka sendiri. Kau harus memulai semuanya dari diri kamu sendiri. Setelah mereka melihatmu sukses, pasti mereka akan mengikutimu. Tapi ingat ini tidak mudah dan kamu harus punya semangat dan disiplin diri yang kuat. Tidak boleh terhenti di tengah jalan. Aku akan membantumu, bagaimana?” Jelasnya.

Atang berpikir keras. Ia berusaha mengukur kemampuannya. Ia tak yakin akan mampu melakukannya. Jadi orang sukses dari hasil usaha sendiri seperti yang ia katakan pada orang-orang di kampungnya. Ah, bukankah orang tuanya mewariskan sawah yang sedang ia duduki ini untuknya. Jadi, meski ia masih kecil ia pasti boleh menggarapnya sendiri. “Aku siap!” ucapnya mantab. Sejenak ia ragu-ragu. “Tapi... kau akan membantuku kan, Gunung Ajaib?” lanjutnya.

“Aku sudah berjanji padamu, jadi aku pasti menepatinya. Mulailah mengerjakan sawahmu besok. Carilah bibit-bibit tanaman itu di lereng gunung. Aku akan membuat tanamanmu cepat tumbuh dan subur. Setelah itu, jualnya hasil panenmu ini ke pasar dan belilah sesuatu untuk menunjukkan pada mereka bahwa kau mampu membeli segalanya dengan hasil jerih payahmu sendiri.” Jelasnya.

Lag-lagi Atang selalu menyimak setiap perkataan Gunung itu dengan seksama, lalu melonjak kegirangan setelah memahami semuanya. “Baik! Aku akan mencoba. Aku akan jadi orang sukses dan bisa membeli apapun yang aku inginkan. Terima kasih Gunung Ajaib. Aku bersyukur bisa berteman denganmu.”

Atang berlari pulang untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk mengerjakan sawah besok. Ia hampir saja menabrak bebek-bebek itu.

“Wah, Atang. Apa kamu mampu mengerjakan semuanya sendiri? Kamu kan masih kecil.” Kata bebek itu. Atang sempat bimbang. Namun ia dengan mantab mengangguk.

“Aku pasti bisa. Kau harus membantuku membujuk majikanmu untuk sering-sering ke sawah di tepi gunung itu. Biar dia melihat apa yang aku lakukan dan ingin melakukannya sendiri.” Setelah mengtakan itu, ia pun berlari pulang.

Sebelum matahari terbit, Atang sudah bangun. Menenteng alat-alatnya dan membawa bungkusan bekal makanan, ia berangkat ke sawah. Terdengar hewan-hewan di desa itu juga kompak berteriak membangunkan tuannya. Benar saja, ketika ia berangkat ke sawah. Pak tua di sebelah rumahnya sudah bangun. Ia heran melihat Atang menenteng semua barang-barang itu.

“Atang, mau kemana kamu? Hati-hati kalau bawa-bawa benda tajam seperti itu. Jangan sampai melukai orang.” Pak tua itu menunjuk-nunjuk ngeri ke alat Atang.

“Ke sawah di kaki gunung, Pak. Aku akan brcocok tanam dan menghasilkan uang banyak. Mari, Pak.” Ucap Atang santai. Ia tersenyum dan pergi meninggalkan pak tua itu melongo heran. Atang tersenyum. Rupanya pak tua itu masih menganggapnya sebagai orang gila yang akan membunuh orang dengan alatnya itu.

Atang mengumpulkan berbagai bibit tanaman buah dan sayuran sebanyak-banyaknya. Ia bekerja tak kenal lelah. Beberapa hari pertama ia membagi-bagi petak sawahnya menjadi beberapa bagian. Kemudian masing-masing bagian dari petak sawah itu ia tanami tanaman yang berbeda. Lalu, ia gali parit kecil dari arah sungai. Secara Ajaib, tanaman itu pun sudah terendam air seperti baru saja ia sirami. Ia tersenyum penuh rasa terima kasih pada gunung itu. Di pinggir-pinggir sawahnya ia tanami dengan bunga-bungaan.

Saat sedang menanam bunga, dari sudut matanya Atang melihat beberapa warga mengintipnya dari semak-semak. Tapi ia pura-pura saja tidak tahu. Ia berharap orang-orang itu akan datang mendekat dan bertanya. Namun orang-orang itu berbalik pulang dan saling berbisik. Pasti orang-orang di kampungnya sedang heboh membicarakannya, si anak yang mereka anggap gila ini. Atang tersenyum. Lihat saja, pikirnya.

Beberapa hari kemudian, Atang hanya datang ke sawahnya untuk melihat perkembangan tanamanya. Wah, tanah yang ditinggalkan ayahnya cukup luas juga, pikirnya. Ia akan kaya.

Beberapa waktu berlalu, Atang begitu takjub melihat hasil tanamannya cepat tumbuh subur. Gunung itu benar-benar memenuhi janjinya. Atang memekik girang ketika tiba-tiba saja ia melihat bunga-bunga di tanamannya secara ajaib tumbuh menjadi buah segar. Ia pulang ke rumahnya sambil berlari-lari riang.

Keesokan harinya ketika ia tiba di sawahnya, ia melihat buah-buahnya banyak yang sudah masak dan sayuran-sayurannya juga sudah terlihat siap dipetik. Sementara secara ajaib, di bawah pohon-pohon itu, ada tunas-tunas yang baru tumbuh. Berarti ketika memanen nanti, ia tak perlu khawatir karena tunas baru itu segera tumbuh besar dan menghasilkan uang lagi. Atang segera memetik buah dan sayuran itu dan memasukkannya ke dalam keranjang. Ia sudah menyewa kendaraan di kota yang akan ia bayar dari uang hasil penjualan sayuran dan buahnya.

Dengan bangga, Atang lewat di depan orang-orang kampung yang seperti berbaris hanya untuk melihatnya pergi dengan truk kecil yang penuh dengan hasil sawahnya. Orang-orang itu melongo heran. Dalam waktu yang secepat itu, Atang bisa menghasilkan pangan yang begitu banyak.

Ketika Atang pulang ke rumahnya. Sudah bisa membeli berbagai macam kebutuhan sehari-hari dan barang-barang apa yang ia inginkan. Membawa sebagian barangnya, Atang berlari ke gunung bermaksud untuk menceritakan kegembiraannya. Orang kota menyukai hasil tanamannya. Namun begitu sampai di sawahnya, Atang melongo melihat semua orang di kampungnya sudah berada di sawah dan mengerjakan sawahnya masing-masing dengan giat.

Semua orang menyambut Atang gembira dan menyesal telah mengabaikan perkataan Atang. Kini, Atang menjadi anak emas di desanya. Atang tersenyum bahagia pada gunung itu. Ia tak menyesal menceritakan percakapannya dengan gunung itu. Meski dianggap gila, tapi ia bercerita apa adanya. Tapi Atang pikir, sekarang mereka akan terlalu sibuk untuk bergosip dan menanyai Atang soal itu lagi. Atang tersenyum puas melihat semangat bekerja warga desanya. Mulai sekarang, desa itu akan menjadi desa agraris penghasil pangan yang tak tertandingi.

“Ya, aku akan memperjuangkan kelestarian desaku seumur hidupku!” tekad Atang pada dirinya sendiri dan pada Gunung Ajaib itu. (Selesai)

Himne dan Mars MTsN Sumberagung


LAGU HIMNE MTsN SUMBERAGUNG

LA=A minor                                             Lirik & Lagu: Yulian Istiqomah, S.Pd. 
 (4/4) D'MARCIA

«                 Berciri khas Islami, Madrasahku tercinta
Tempat belajar agama, Agar berjiwa mulia

Berprestasi dan kreatif, Cerdas trampil dan taqwa
Bersatu untuk meraih cita, Membangun Bangsa Indonesia

Reff
MTs Negeri Sumberagung
kubuat namamu smakin melambung
Harum ternama di mata dunia
Unggul segala karya

Ikhlas beramal abdikan diri
Menata hati tuk tugas suci
wujudkan generasi Qur’ani
Matsumba beraksi, mengharap ridho Illahi.


 MARS MTsN SUMBERAGUNG


DO=C              Lagu & Syair: Dra. Heni Susilaningsih 
(ADANTE) 
(4/4)

Bhaktiku  dab darnaku, selalu kucurahkan padamu
Beriman, beramal, dan berilmu, untukmu madrsahku

Mendidik putra-putri bangsa, tuk mencapai cita-cita mulya
Berasas agama, berdasar pancasila dan undang-undang dasar empat lima

Reff:   MTs Negeri Sumberagung
Namamu kan smakin melambung
MTs Negeri Sumberagung
Langkahmu tak terbendung

Kan kuingat sepanjang masa, tertanam slalu di dalam dada
Majulah MATSUMBA untuk slama-lamanya,
MATSUMBA slalub JAYA

tahun 2007 pembinaan cerpen dan novel rremaja UNY