Sunday, 25 March 2012

"Si Atang dan Gunung Ajaib" (Peringkat 8 Nasional LMCR Diknas 2011)

SI ATANG DAN GUNUNG AJAIB

Karya: Zuhrotus Syarifah (Siswa Kelas IX.A MTsN Sumberagung)

“Kenapa aku harus terlahir dengan kelebihan seperti ini?” Atang merengut memandang sekumpulan bebek-bebek di sawah yang asyik membicarakannya. Sejak kecil Atang sadar bahwa ia memiliki kelebihan. Ia bisa mendengar dan mengerti bahasa makhluk lain selain manusia. Bahkan ia bisa mendengar apa yang mereka pikirkan meski tidak mengucapkannya. Tak banyak orang menyadari kelebihannya itu. Ia sendiri memang tak pernah menyampaikannya pada orang lain. Ia membiarkan segala macam julukan orang berlalu begitu saja. Dari anggapan ia seperti orang gila, kawanan hantu, sampai manusia ajaib pun tak digubrisnya.

“Hei, kau sudah makan belum? Ayo makan bersama kami.” Seketika Atang menoleh ke arah bebek-bebek itu. Mulutnya merengut. Memangnya ia hewan apa, jelek-jelek begini ia manusia tulen, pikirnya.

“Hei, kalau merengut tambah jelek lho. Sudah jelek malah makin jelek. Ha...ha...ha...” Bebek-bebek itu manjadi semakin riang bergunjing, menertawakannya.

“Ah.... sudah. Diam! Berisik!” Atang marah. Bebek-bebek itu terdiam, tak ada yang bersuara, tapi masih saja Atang mendengar pikiran dari salah satu bebek itu. “Alah...begitu saja marah.”

Tak tahan, Atang bangkit lalu berjalan ke arah gunung. Ia berhenti di tempat di mana ia bisa duduk sambil memandang lepas ke arah gunung itu. Gunung itu begitu tinggi menjulang, kokoh, berkuasa, dan tak kurang suatu apa pun. Gunung memiliki segalanya, aura, panorama, makhluk-makhluk yang mencintainya, dan juga kekayaan yang melimpah ruah. Sementara ia, anak yang miskin, kurus, dekil, dan hampir dibuat gila oleh kelebihan yang dimilikinya.

Atang mendasah lelah. Sebenarnya ini anugerah, tapi ia bingung dan merasa menjadi orang aneh yang berbeda dengan anak lainnya. Atang berpikir keras, ia selalu ingin bisa membantu memajukan desanya. Para penduduk di desanya sangat miskin dan tertinggal. Sebenarnya mereka layak mendapatkan penghidupan yang setara dengan masyarakat lainnya. Tapi entah mengapa desanya selalu saja luput dari perhatian para orang dermawan itu. Atang tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang anak dengan kelebihan aneh. Atang jadi membenci dirinya sendiri jika mengingat hal itu.

Ggrrrr....” terdengar suara gemuruh hampir serupa geraman. Atang kembali merengut mendengar suara aneh itu. Kali ini apa lagi, pikirnya. Mungkin di sekitarnya kini ada kerbau, babi, atau harimau yang mengerang.

“Kau seorang anak yang berhati mulia dan jujur, Atang. Tapi kau bodoh!” Kata suara itu lagi.

Apa? Bodoh? Atang tersinggung lalu berbalik. Suara hewan macam apa itu dan dimana hewan itu berada? Tak ada hewan apa pun di sekelilingnya. Atang heran dan bertanya-tanya. Mungkinkah pohon besar di sebelahnya itu?

“Jika kau pintar. Tentu kau juga tidak akan bicara sembunyi-sembunyi seperti itu. Siapa kau?” Bentak Atang marah. Akhir-akhir ini ia memang terlalu emosional.

“Aku bukan pengecut dan dari tadi aku sudah tepat berada di depanmu.”

Suara itu besar, keras, dan berkuasa. Suara apakah gerangan? Atang mengamati atas, bawah, dan jauh ke depan, tapi tak menemukan hewan apa pun di depannya. Burung-burung di pohon itu tak mungkin punya suara yang sebesar itu.

“Aku menyerah. Sekarang katakan siapa kau?” Ucap Atang dengan gaya pasrah dan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

“Aku adalah gunung yang dari tadi kau pelototi.”

Atang tersenyum, oh gunung, pikirnya. Hah, gunung? Atang terlonjak kaget. Ia melongo menatap gunung yang menjulang dan bisa berbicara itu dan menggeleng-geleng tak percaya.

“Ya, ini aku. Gunung!”

Gunung ajaib, simpul Atang. Wah, ia tidak tahu kalau gunung juga bisa bicara dan turut menjadi salah satu hal ajaib dalam hidupnya. Atau mungkin Atang saja yang sudah berubah menjadi siluman sehingga juga bisa mendengar suara gunung? Atau lebih tepatnya, itu suara siluman di dalam gunung itu? Siluman yang amat besar dan mengerikan tentunya hingga bisa mengeluarkan suara seperti itu.

“Hiiiyy....!” Atang ketakutan, ia meloncat turun dari duduknya dan siap berlari pulang.

“Dasar goblok! Pikiranmu keblabasan. Tentu saja tidak ada siluman. Ini asli suaraku!” Bentak marah gunung itu.

Antang terdiam, langkahnya terhenti. Ya, tentu saja, di jaman semodern ini mana ada siluman. Ia memandang tak percaya pada gunung itu lagi.

“Tak ada siluman? Asli?” Ulang Atang.

“Ah, sekarang kau malah terdengar seperti burung beo, Atang. Dengarkan, aku bisa menolongmu dan masyarakat di sekitarmu.” Ujar gunung itu.

“Menolong kami?” Atang memandang lekat-lekat gunung itu. “Benarkah?” lanjutnya. Atang sejenak berpikir, lantas terlihat bingung. “Bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?” Tanyanya kemudian.

“Tugasmu hanya berusaha menyakinkan warga agar selalu mencintai lingkungan dan giat bekerja menggarap sawah dan kebun mereka. Mereka bisa menjadi kaya berkat kebun dan sawahnya. Mereka bisa menjualnya ke kota. Tanahku akan menjadi sangat subur hingga tanaman apa pun dapat tumbuh dengan cepat. Selama ini mereka terlalu malas. Jika lingkungan terjaga, maka panorama desa kalian akan semakin indah. Pasti banyak orang yang tertarik datang ke sini untuk menikmatinya. Tapi kau harus menjaga agar para pendatang itu tidak merusak alam kalian. Bagaimana?” Atang serius mendengarkan setiap perkataan gunung itu. Setelah mengerti ia pun tersenyum puas.

“Astaga, kenapa tidak terpikirkan olehku? Aku akan berusaha keras. Sangat keras. Desa ini akan menjadi desa penghasil pangan yang tak tertandirngi.” Atang segera berlari ingin segera memberitahu warga. Namun ia berhenti dan berbalik melempar senyum cemerlang ke arah gunung itu.

“Terima kasih, Gunung Ajaib. Aku bahagia bisa berbicara denganmu. Aku akan kembali.” Atang terus berlari melewati bebek-bebek itu lagi.

“Wah, teman-teman. Inilah Si Atang calon pahlawan kita. Ia bersama Gunung Ajaib itu akan membuat kita kaya raya.” Ucap bebek itu.

Atang berhenti, lalu berbalik melotot heran ke segerombolan bebek itu. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Kabar burung.” Jawabnya. Atang memandang curiga.

“Baiklah, Burung Pipit itu yang memberitahuku. Kami mendukungmu, Atang.” Lanjut bebek itu. Atang tersenyum senang.

“Benarkah? Baiklah. Aku harap kalian mau mengabarkan ini pada hewan-hewan lainnya.” Atang berlari pulang dengan gembira.

Pagi-pagi sekali Atang sudah terbangun. Atang mendengar suara hewan-hewan peliharaan warga yang sudah berteriak-teriak membangunkan tuannya. Atang tersenyum, bebek-bebek itu ternyata bergerak lebih cepat dari yang dibanyangkannya. Atang pun segera bersiap untuk memberitahu warga. Tapi, Atang bingung. Bagaimana caranya Atang akan memberitahukan mereka tentang hal ini? Atang tak perduli pada resiko yang bakal dia terima. Ia hanya akan berusaha sebaik mungkin. Dan memberitahu mereka dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya.

Pagi itu, Atang pun mulai menemui penduduk yang tinggal di sebelah rumahnya. Ia menjelaskan panjang lebar tentang gunung, lingkungan, dan hasil sawah maupun kebun yang bakal membuat mereka kaya.

“Percayalah, Pak. Gunung itu pasti akan menjadi subur!” ucap Atang menutup pembicaraan mereka. Pak tua itu hanya tersenyum prihatin pada Atang sambil menepuk-nepuk bahunya. Atang bingung.

“Aneh sekali reaksi pak tua itu. Kenapa dia malah mengasihaniku? Ah....sudahlah. Pasti ada penduduk di desanya yang mau mencoba sarannya. Atang bertekad bulat akan terus mencoba. Setiap pagi, ia mulai mendisiplinkan diri. Bangun sepagi mungkin dan mendatangi rumah-rumah penduduk lagi. Tanpa putus asa ia terus menyampaikan hal yang sama dengan yang disampaikan pada pak tua itu. Tapi kembali tak seorang pun yang percaya padanya. Padahal, ia sudah menjelaskan dengan sejujur-jujurnya tentang peristiwa-peristiwa yang ia alami. Terutama tentang gunung itu. Atang heran. Apa yang salah? Mengapa mereka bereaksi sama seperti itu?

Atang masih terus berjalan. Ia mendatangi tumah terakhir di desa itu. Dalam hati Atang sungguh berharap wanita tua itu akan percaya dengan kata-kata. Namun, Atang bahkan hampir menangis ketika mendengar komentar orang itu.

“Nak, pergilah ke kota, lalu carilah dokter yang dapat menolongmu. Kau ini agak berbeda dengan anak-anak lain. Kau sering bicara sendiri dan membicarakan hal-hal aneh yang tidak kami mengerti. Kami turut prihatin, Atang.” Ucap nenek itu

“Percayalah padaku, Nek. Aku tidak berbohong. Kita semua bisa menjadi kaya kalau kita mau. Gunung ajaib itu akan menolong kita. Menyuburkan tanah, mempercepat tumbuhnya tanaman, dan banyak hal lainya. Sungguh, aku tidak bohong, Nek. Aku sudah berbicara sendiri dengan gunung itu.” Atang putus asa.

Wanita tua itu hanya menggeleng seidih, “Nak, kau memang perlu dokter atau dukun. Aku bisa membantumu mencari dukun....” Atang menggeleng keras.

“Aku tak perlu bantuan siapa pun, Nek. Justru aku hanya mencoba membantu kalian bangkit dari kemiskinan.” Setelah mengucapkannya, ia pergi ke gunung itu.

Kembali ia memanjat pohon kesayangannya, dan merenungi segala upayanya yang tanpa hasil itu.

“Sabar, Atang. Suatu saat nanti kamu pasti berhasil. Tetap semangat dan berusaha ya!” ucap bebek itu lagi. Antang tersenyum, mengangguk. Ya paling tidak, para hewan di desanya menyambut gembira upaya Atang dan Gunung Ajaib itu.

Atang kembali berjalan. Ingin rasanya ia berteriak marah pada orang-orang itu, tapi ia tak bisa. Atang duduk terpaku menatap gunung ajaib itu. Ia terus berpikir bagaimana caranya meyakinkan warga desanya. Ia sudah mencoba menjelaskan sejujurnya dan sekuat tenaga, tapi tampaknya semua orang justru malah menganggapnya gila dan memerlukan dokter jiwa. Atang tersenyum pahit. Ya, tentu saja mereka tidak akan percaya kalau ia bisa berbicara dengan binatang atau makhluk lainnya.

“Hehehe.... Bodoh benar aku.” Atang tertawa. “Mereka tentu justru malah menganggapku gila jika melihatku serius berbicara dengan hewan-hewan itu.” Lalu apa yang harus ia lakukan? Atang bingung. Ia mengacak-acak sebal rambutnya.

“Gunung Ajaib, aku gagal menjalankan tugasku. Aku sudah berusaha. Tapi mereka tidak percaya kata-kataku. Apa yang harus aku lakukan?” Teriaknya.

“Kamu tidak gagal, Atang. Paling tidak mereka telah berpikir sekarang. Masih ada cara lain, tapi apa kamu sanggup? Ini berat.” Jawab Gunung itu.

Atang langsung bersemangat, matanya berbinar-binar penuh harap ketika menatap ke gunung itu. “Apa pun itu. Aku siap. Aku akan berusaha keras untuk menyakinkan mereka. Aku ingin desaku ini menjadi desa yang banyak dikagumi orang. Aku.... apa yang harus aku lakukan, Gunung Ajaib?”

“Yang harus kamu lakukan adalah memberi contoh pada mereka, Atang. Biarkan mereka melihat dengan mata mereka sendiri. Kau harus memulai semuanya dari diri kamu sendiri. Setelah mereka melihatmu sukses, pasti mereka akan mengikutimu. Tapi ingat ini tidak mudah dan kamu harus punya semangat dan disiplin diri yang kuat. Tidak boleh terhenti di tengah jalan. Aku akan membantumu, bagaimana?” Jelasnya.

Atang berpikir keras. Ia berusaha mengukur kemampuannya. Ia tak yakin akan mampu melakukannya. Jadi orang sukses dari hasil usaha sendiri seperti yang ia katakan pada orang-orang di kampungnya. Ah, bukankah orang tuanya mewariskan sawah yang sedang ia duduki ini untuknya. Jadi, meski ia masih kecil ia pasti boleh menggarapnya sendiri. “Aku siap!” ucapnya mantab. Sejenak ia ragu-ragu. “Tapi... kau akan membantuku kan, Gunung Ajaib?” lanjutnya.

“Aku sudah berjanji padamu, jadi aku pasti menepatinya. Mulailah mengerjakan sawahmu besok. Carilah bibit-bibit tanaman itu di lereng gunung. Aku akan membuat tanamanmu cepat tumbuh dan subur. Setelah itu, jualnya hasil panenmu ini ke pasar dan belilah sesuatu untuk menunjukkan pada mereka bahwa kau mampu membeli segalanya dengan hasil jerih payahmu sendiri.” Jelasnya.

Lag-lagi Atang selalu menyimak setiap perkataan Gunung itu dengan seksama, lalu melonjak kegirangan setelah memahami semuanya. “Baik! Aku akan mencoba. Aku akan jadi orang sukses dan bisa membeli apapun yang aku inginkan. Terima kasih Gunung Ajaib. Aku bersyukur bisa berteman denganmu.”

Atang berlari pulang untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk mengerjakan sawah besok. Ia hampir saja menabrak bebek-bebek itu.

“Wah, Atang. Apa kamu mampu mengerjakan semuanya sendiri? Kamu kan masih kecil.” Kata bebek itu. Atang sempat bimbang. Namun ia dengan mantab mengangguk.

“Aku pasti bisa. Kau harus membantuku membujuk majikanmu untuk sering-sering ke sawah di tepi gunung itu. Biar dia melihat apa yang aku lakukan dan ingin melakukannya sendiri.” Setelah mengtakan itu, ia pun berlari pulang.

Sebelum matahari terbit, Atang sudah bangun. Menenteng alat-alatnya dan membawa bungkusan bekal makanan, ia berangkat ke sawah. Terdengar hewan-hewan di desa itu juga kompak berteriak membangunkan tuannya. Benar saja, ketika ia berangkat ke sawah. Pak tua di sebelah rumahnya sudah bangun. Ia heran melihat Atang menenteng semua barang-barang itu.

“Atang, mau kemana kamu? Hati-hati kalau bawa-bawa benda tajam seperti itu. Jangan sampai melukai orang.” Pak tua itu menunjuk-nunjuk ngeri ke alat Atang.

“Ke sawah di kaki gunung, Pak. Aku akan brcocok tanam dan menghasilkan uang banyak. Mari, Pak.” Ucap Atang santai. Ia tersenyum dan pergi meninggalkan pak tua itu melongo heran. Atang tersenyum. Rupanya pak tua itu masih menganggapnya sebagai orang gila yang akan membunuh orang dengan alatnya itu.

Atang mengumpulkan berbagai bibit tanaman buah dan sayuran sebanyak-banyaknya. Ia bekerja tak kenal lelah. Beberapa hari pertama ia membagi-bagi petak sawahnya menjadi beberapa bagian. Kemudian masing-masing bagian dari petak sawah itu ia tanami tanaman yang berbeda. Lalu, ia gali parit kecil dari arah sungai. Secara Ajaib, tanaman itu pun sudah terendam air seperti baru saja ia sirami. Ia tersenyum penuh rasa terima kasih pada gunung itu. Di pinggir-pinggir sawahnya ia tanami dengan bunga-bungaan.

Saat sedang menanam bunga, dari sudut matanya Atang melihat beberapa warga mengintipnya dari semak-semak. Tapi ia pura-pura saja tidak tahu. Ia berharap orang-orang itu akan datang mendekat dan bertanya. Namun orang-orang itu berbalik pulang dan saling berbisik. Pasti orang-orang di kampungnya sedang heboh membicarakannya, si anak yang mereka anggap gila ini. Atang tersenyum. Lihat saja, pikirnya.

Beberapa hari kemudian, Atang hanya datang ke sawahnya untuk melihat perkembangan tanamanya. Wah, tanah yang ditinggalkan ayahnya cukup luas juga, pikirnya. Ia akan kaya.

Beberapa waktu berlalu, Atang begitu takjub melihat hasil tanamannya cepat tumbuh subur. Gunung itu benar-benar memenuhi janjinya. Atang memekik girang ketika tiba-tiba saja ia melihat bunga-bunga di tanamannya secara ajaib tumbuh menjadi buah segar. Ia pulang ke rumahnya sambil berlari-lari riang.

Keesokan harinya ketika ia tiba di sawahnya, ia melihat buah-buahnya banyak yang sudah masak dan sayuran-sayurannya juga sudah terlihat siap dipetik. Sementara secara ajaib, di bawah pohon-pohon itu, ada tunas-tunas yang baru tumbuh. Berarti ketika memanen nanti, ia tak perlu khawatir karena tunas baru itu segera tumbuh besar dan menghasilkan uang lagi. Atang segera memetik buah dan sayuran itu dan memasukkannya ke dalam keranjang. Ia sudah menyewa kendaraan di kota yang akan ia bayar dari uang hasil penjualan sayuran dan buahnya.

Dengan bangga, Atang lewat di depan orang-orang kampung yang seperti berbaris hanya untuk melihatnya pergi dengan truk kecil yang penuh dengan hasil sawahnya. Orang-orang itu melongo heran. Dalam waktu yang secepat itu, Atang bisa menghasilkan pangan yang begitu banyak.

Ketika Atang pulang ke rumahnya. Sudah bisa membeli berbagai macam kebutuhan sehari-hari dan barang-barang apa yang ia inginkan. Membawa sebagian barangnya, Atang berlari ke gunung bermaksud untuk menceritakan kegembiraannya. Orang kota menyukai hasil tanamannya. Namun begitu sampai di sawahnya, Atang melongo melihat semua orang di kampungnya sudah berada di sawah dan mengerjakan sawahnya masing-masing dengan giat.

Semua orang menyambut Atang gembira dan menyesal telah mengabaikan perkataan Atang. Kini, Atang menjadi anak emas di desanya. Atang tersenyum bahagia pada gunung itu. Ia tak menyesal menceritakan percakapannya dengan gunung itu. Meski dianggap gila, tapi ia bercerita apa adanya. Tapi Atang pikir, sekarang mereka akan terlalu sibuk untuk bergosip dan menanyai Atang soal itu lagi. Atang tersenyum puas melihat semangat bekerja warga desanya. Mulai sekarang, desa itu akan menjadi desa agraris penghasil pangan yang tak tertandingi.

“Ya, aku akan memperjuangkan kelestarian desaku seumur hidupku!” tekad Atang pada dirinya sendiri dan pada Gunung Ajaib itu. (Selesai)

No comments: